Pendidikan Gizi Keluarga di Sekolah

Pendidikan Gizi Keluarga di Sekolah 

Sudah cukup lama kebiasaan makan bersama di sekolah khususnya Sekolah Dasar, setiap seminggu sekali diterapkan. Begitu pula mulai ada sekolah-sekolah yang mengharuskan para murid membawa bekal. Semuanya merupakan inisiatif yang perlu dipuji dan didukung. 

Tapi di balik itu semua, perlu ada pemahaman kritis yang mendasari, latar belakang edukasi gizi seimbang yang mestinya berlaku sama, sebab berpangkal dari pedoman yang sama. Di kalangan pendidik sendiri, masih ada yang memegang prinsip 4 sehat 5 sempurna – bahkan buku ajar masih mengutip jargon lawas tersebut, padahal secara sah diganti menjadi istilah Gizi Seimbang menurut Permenkes no 41/2014. 

Pangan Keluarga, Cermin Kedaulatan Pangan Negara Susu tidak pernah disebut menyempurnakan gizi seseorang, apalagi pada populasi etnis Melayu angka intoleransi laktosa mencapai 80% lebih – artinya, kita memang tidak bisa mencerna produk susu dan turunannya, dengan akibat gangguan pencernaan mulai dari kembung hingga diare. Kedudukan susu hanyalah salah satu dari sekian banyak sumber protein hewani lainnya. Dan bukan merupakan keharusan saat anak sudah disapih dari air susu ibu di usia 2 tahun. 

Jika kita duduk bersama anak usia sekolah dasar hingga sekolah menengah atas – dan berdiskusi tentang apa itu pangan sehat, akan muncul jawaban-jawaban mengejutkan, yang akhirnya mau tak mau kita mengakui kedaruratan pemahaman gizi keluarga di negri ini. 

Makan buah sekali sehari saja sudah dianggap sehat oleh para anak dan remaja, padahal mestinya kita mengonsumsi minimal 3 porsi buah per harinya. Jika berupa apel, jeruk, pisang, sawo berukuran sedang maka 1 buah sama dengan 1 porsi. 

Sementara buah potong seperti semangka, pepaya atau buah naga 1 porsi diandaikan 1 mangkuk sedang potongan buah. Saya sedang berharap cemas semoga tidak ada anak-anak kita yang sama konyolnya dengan remaja Amerika Serikat di zaman pemerintahan Ronald Reagan, yang mengatakan saos tomat itu sama saja dengan buah toma.

Masalahnya, kecenderungan iklan produk kemasan dan aneka suplemen kesehatan kita sudah mulai melakukan komersialisasi kebablasan seakan produk mereka setara dengan bahan pangan aslinya. Dan tidak ada satu pun institusi kesehatan di negri ini yang sadar, apalagi memberi teguran setiap kali iklan sesat itu muncul. 

Dimulai dari usia menyusu, bayi-bayi yang seharusnya mendapatkan hak atas ASI sudah dijejali susu formula akibat para ibu muda terintimidasi oleh oknum kader posyandu dan sayangnya juga oknum nakes yang menyebut ASI tidak cukup, tidak berkualitas bahkan anak yang diberi sufor lebih gemuk, lebih cerdas, dan entah lebih apalagi. Baca juga: Mengapa ASI Penting Untuk Mencegah Stunting? Pengandaian itu lebih dipertegas dengan proyek pembagian aneka susu kotak di posyandu yang katanya ‘mencegah stunting’ dan anak yang telah stunting pun diberi susu formula khusus. 

Semakin ke pelosok, upaya merendahkan ASI kian masif dan justru semakin banyak anak-anak di kampung yang kemana-mana membawa botol dot. Belum lagi pamer sufor paling mahal menjadi ajang gengsi para ibu muda di media sosialnya. 

Tak kalah ricuh, para nenek yang juga terpapar sliweran iklan susu semakin meninggikan kedudukan produk dan melecehkan para menantu yang masih setia menyusui anaknya: sebutan ASI basi, ASI tidak enak rasanya hingga ASI bening tak bergizi semakin santer didengar. 

Zaman saya lebih muda, anak-anak yang mendapatkan ASI dikenal tangguh, jarang sakit, dan bertubuh gempal. Tapi sekarang faktanya kerap terbalik” ibu-ibu yang menyusui merasa minder karena anaknya ‘tidak segemuk’ penikmat sufor. Gemuk masih menjadi tolok ukur. Padahal mestinya, rujukan tumbuh kembang adalah grafik yang ada dalam buku KIA. Padahal yang salah juga bukan ASI. 

Tapi perkara manajemen laktasi, optimalisasi menyusu dengan perlekatan yang benar: ibu-ibu zaman dahulu tidak mengenal kecanduan gawai sambil menyusui, apalagi stres akibat perundungan di media sosial berdampak ‘ASI seret’ jadi alasan.

Alasan yang sama membuat mereka juga memilih produk kemasan pengganti makanan pendamping ASI buatan sendiri. Apalagi jika dianjurkan di posyandu, yang sekarang banyak telah berubah fungsi menjadi tempat ‘bagi-bagi sampel produk’. Jika sejak mengenal makanan padat bayi-bayi dijejali rasa pabrikan, tentu setelah besar anak-anak ini punya referensi dan preferensi asupan sesuai dengan rasa kemasan yang dia kenal dengan amat baik berdampak pada kecanduan. Kecap, saos, sosis, nugget hingga mi instan sudah jadi pangan harian yang menggantikan pangan dan bumbu dalam artian sesungguhnya. Baca juga: Dari Stunting ke Teh Manis, Apakah Edukasi Kita Miskin Literasi? Dan ini yang dibawa hingga masuk usia sekolah. Beberapa guru yang pernah saya ajak diskusi mengeluhkan sulitnya membuat anak didik mereka menyukai makanan ‘asli’ dengan bumbu ‘asli’ dan ‘asli’ dari daerah sendiri, mulai dari ayam garang asem, pepes ikan, apalagi kalau sudah menyentuh aneka masakan dari sayur. Ibu-ibu yang merasa ‘hampir kehilangan kewarasan’ akhirnya mengalah demi anaknya mau makan: stok aneka produk beku pabrikan, bumbu-bumbu kemasan yang tinggal cemplung atau tuang. Gawatnya, lama kelamaan para ibu menikmatinya sebagai kepraktisan. Lebih jauh lagi, ada pembenaran karena isinya sudah tertulis di label komposisi, ‘lebih higienis’ ketimbang stok ayam atau ikan mentah, ‘lebih mudah ditata dalam kulkas’ sehingga isi kulkas nampak rapi. Dapur dan kulkas rumah tangga sudah seperti stok mini market. Bahkan ada keluarga tajir melintir, yang membanggakan diri punya rak khusus di ruang persediaan bahan pangan yang sungguh-sungguh mirip swalayan: berkardus-kardus makanan instan, kalengan, minuman kemasan tak ketinggalan. Baca juga: Susu sebagai Protein Hewani, Promosi Kemewahan dengan Risiko Mengintai Dan ini lambat laun ditiru banyak keluarga, termasuk yang ekonominya pas-pasan, sebab ‘influencer’ dan para artis pujaan mereka jadi panutan. Sangat tidak lucu dan amat mengkhawatirkan jika kita abai dengan hal-hal di atas yang barangkali sudah dianggap ‘normalisasi’ hidup di era sekarang.

Banyak negara maju yang para ilmuwan dan ahli gizinya juga maju untuk kesejahteraan umat manusia di masa depan, pendidikan gizi keluarga dijadikan mata ajar utama sejak usia dini. 

Saat anak-anakulai terpapar dengan kebenaran ilmu dan gaya hidup yang lebih baik dari orangtuanya, mereka akan menjadi generasi pemutarbalik belenggu nasib kebodohan dan kemiskinan. 

Di usia sekolah, pengaruh teman sebaya menjadi penting. Jika secara kolektif mereka berhasil menjalani pola makan sehat akibat didikan sekolah yang terus menerus, bukan hanya makan bersama seminggu sekali yang diisi menu amburadul, saya yakin ini menjadi daya ungkit potensial yang amat berkontribusi secara jangka panjang terhadap masalah gizi buruk apalagi stunting.

 Jadi, pertama yang harus dibenahi adalah pemahaman pola makan sehat dan gizi seimbang para pendidik. Revitalisasi kurikulum pendidikan dasar kita dengan mengikutsertakan masukan gizi keluarga sudah menjadi hal yang urgen. Kedua, mengikuti hal tersebut maka pengetahuan kognitif saja tidak cukup. 

Keterampilan dasar juga menjadi penting: mengajak anak belajar memilih, membersihkan, menyimpan bahan pangan, jika perlu hingga cara meracik serta mengolah makanan dengan sederhana, membatasi limbah pangan, memahami daur ulang dan membatasi kemasan plastik. Gizi keluarga bukan cuma urusan makan dan minum. Dengan demikian, maka pendidikan menemukan makna sesungguhnya bagi manusia: demi masa depan yang lebih baik, secara paripurna. Kapan anak-anak Indonesia bisa seperti ini?

*dikutip langsung dari Kompas com*